Asas Dominus Litis Harus Mengedepankan Kehati-hatian dan Keteguhan

| oleh -23x Dilihat

MEDAN, (HarianSumut)

Penerapan asas Dominus Litis dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) haruslah mengedapankan prinsip kehati-hatian dan prinsip keteguhan. Sebab, pada dasarnya prinsip-prinsip asas Dominus Litis dalam Hukum Pidana itu adalah kewenangan menentukan Perkara. Kejaksaan memiliki kewenangan untuk menentukan Suatu Perkara Pidana akan diajukan ke Pengadilan atau tidak. Kemungkinan Potensi terjadinya penyalahgunaan asas tersebut sehingga dapat digunakan oleh Kejaksaan untuk menunda atau mengganggu proses jalannya Peradilan.

Hal tersebut disampaikan, Dosen Tetap Hukum Pidana Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia (UPMI) Medan dan Dosen Luar Biasa Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) Medan, Dr.KHOMAINI, S.E., S.H., M.H., CPArb dalam keterangannya, Senin (10/2/2025).

Lebih jauh, didalam sebuah peradilan Pidana adalah sebuah sistem yang terdiri dari subistem. Subsistem Kepolisian yaitu Penyidikan, Kejaksaan Penuntutan, Pengadilan yaitu Hakim memutusakan Suatu Perkara dan Lembaga Permasyarakatan adalah befungsi sebagai Eksekutorial dan Pembinaan.

Semua Lembaga tersebut harus mempunyai kewenangan dan sinergitas yang sama. Sistem itu harus ditopang oleh Sub Sistem yang sederajat, karena apabila ada dominasi kewenangan, maka ada kemungkinan terjadi dan bisa saja terjadi penyalahgunaan kewenangan.

Oleh karena itu penerapan Dominus Litis didalam revisi KUHAP perlu prinsip kehati-hatian dan prinsip keteguhan. Tidak pernah ada sebuah Institusi/ lembaga yang menjadi super power yang kemudian menjadi sangat penting untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dan keteguhan didalam proses penerapan sebuah sistem.

Jaksa tidak berwenang menjadi penyidik Kasus Korupsi. Jika berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang ada, Kejaksaan dianggap tidak memiliki kewenangan sebagai Penyidik didalam Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yang berhak menangani kasus korupsi hanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku sesuai dengan UU Kejaksaan yang terbaru yaitu UU No.11/ 2021 “Tidak ada kewenangan Kejaksaan menangani Tipikor”.

“Awalnya Kejaksaan memang memiliki kewenangan melakukan Penyidikan Tipikor, dimana pada UU N0.15/ 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI pada Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Kejaksaan No.15/1961 menyatakan bahwa “ Kejaksaan mempunyai tugas mengadakan Penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran, serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam UU Hukum Acara Pidana dan lain-lain Peraturan Negara,” jelasnya.

Baca Juga:  TNI Bersama Warga Bersihkan Lingkungan di Lokasi TMMD Ke 122 Kelurahan Tanjung Pinggir

Hukum Pidana yang berlaku pada saat itu adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR) kewenanagan Kejaksaan sebagai Penyidik juga diatur dalam UU Tipikor No.24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penututan dan Pemeriksaan Tipikor . Dalam perjalanan waktu, UU Tipikor No.24/Prp/1960 diganti dengan UU No.3/1971 tentang Pemberantasan Tipikor, dimana dalam Undang-Undang itu Kejaksaan juga masih memiliki kewenangan sebagai Penyidik Tipikor .

Seiring berjalannya waktu, diundangkan KUHAP pada 1981 yang menyatakan bahwa tidak berlakunya ketentuan-ketentuan dalam HIR sepanjang menyangkut Hukum Acara Pidana. Bahkan KUHAP memisahkan secara tegas antara fungsi penyidikan yang dijalankan Pejabat Polri atau PNS tertentu, dengan fungsi penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim yang dijalankan oleh Jaksa, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 6. Dengan demikian jelaslah bahwa Jaksa tidak memiliki kewenangan lagi sebagai Penyidik. Karena KUHAP menghendaki pemisahan yang tegas antara Fungsi Penyidikan dengan Fungsi Penuntutan.

Pada tahun 1991 diundangkan UU Kejaksaan yang baru yaitu UU No 5/1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia . UU Kejaksaan yang baru ini menegasakan fungsi Jaksa sama seperti fungsi Jaksa dalam KUHAP yaitu sebagai Penuntut Umum. Pada Pasal 1 angka 1 UU Kejaksaan No.5/1991 menegaskan bahwa “ Jaksa adalah Pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum, serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetep (Inkract van gewidjsde) .

Dengan demikian, tegas Dr.KHOMAINI, S.E., S.H., M.H., CPArb, berdasarkan Undang-Undang Kejaksaan No.5/1991, Jaksa tidak lagi memilki kewenangan sebagai Penyidik, dan oleh karenanya kewenangan Jaksa sebagai Penyidik Tipikor sebagaimana diatur dalam UU Kejaksaan No.3/1971 haruslah dianggap tidak ada lagi.

Selanjutnya, pada 1999, diundangkan UU Tipikor baru yakni UU N0.31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor. Dalam UU itu sesungguhnya sudah ditegasakan bahwa Jaksa tidak lagi memiliki kewenangan sebagai Penyidik Tipikor sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU No.31/ 1999.

Akan tetapi permasalahan kewenangan tersebut menjadi Tumpang Tindih kembali dengan adanya ketentuan Pasal 27 dan Pasal 39 UU Tipikor No.31/1999, karena kedua Pasal ini Sebagian orang menafsirkan Jaksa masih memiliki kewenangan sebagai Penyidik Tipikor. Pasal 27 UU No.31/1999 menyatakan bahwa “ Dalam hal ditemukan Tipikor yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk Tim Gabungan dibawah Koordinasi Jaksa Agung. Dan pada Pasal 39 UU No.31/1999 menyatakan bahwa Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tipikor yang dilakukan secara bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.

Baca Juga:  Kapolda Sumut Tinjau Uji Coba Program Makan Bergizi Gratis, Dukung Generasi Sehat dan Cerdas

Namun pada Penjelasan Pasal 27 UU Tipikor No.31/1999 menyatakan “ Yang dimaksud dengan Tipikor yang sulit pembuktiannya antara lain Tipikor dibidang Perbankan, Perpajakan, Pasar Modal, Perdagangan dan Industri, Komoditi Berjangka atau Bidang Moneter dan Keuangan yang bersifat Lintas Sektoral, dilakukan dengan menggunakan Teknologi canggih, atau dilakukan oleh Tersangka atau Terdakwa yang berstatus sebagai Penyelenggara Negara sebagaimana ditentukan dalam UU No.28/1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas korupsi, Kolusi dan Nepotisme “.

Mengkoordinasikan disini sesuai arti kata asalnya adalah mengatur secara baik agar lebih terarah, namun tidak melakukan penyidikan itu sendiri.

Selanjutnya, pada tahun 2002, diundangkan UU KPK Nomor 30/2002, dimana pada salah satu Pasal dibagian Ketentuan Penutup yakni Pasal 71 Ayat 1 UU KPK No.30/2002, menyebutkan bahwa UU Sebelumnya dinyatakan Tidak Berlaku Lagi.

Bahwa kewenangan Jaksa Agung untuk mengkoordinasikan itu dihapus dengan UU KPK dinyatakan tidak berlaku lagi, jadi tidak ada sisanya yang beri kewenangan Jaksa? “Tidak ada,”  tegasnya. Dimana pada Pasal 42 UU KPK No.30/2002 menyatakan bahwa KPK berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tipikor yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Militer dan Peradilan Umum.

Kemudian pada tahun 2004, keluar UU Kejaksaan yang baru, Yakni UU No.16/2004 tentang Kejaksaan RI. UU Kejaksaan ini memberikan lagi kewenangan Penyidikan kepada Kejaksaan, Namun juga tidak disebutkan bahwa Kejaksaan berwenang melakukan Penyidikan Tipikor. memberikan kewenangan kepada Jaksa sebagai Penyidik tindak pidana tertentu, berdasarkan UU.

Namun Analisis secara Yuridis Normatif pada uraian sebelumnya telah membuktikan bahwa sejatinya Jaksa tidak lagi memiliki kewenangan sebagai Penyidik Tipikor, dan sudah selayaknya dan sepatutnya untuk Kasus Tipikor yang berwenang melakukan Penyidikan adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri. (Tim/Red)