Oleh : Daulat Sihombing
Dahulu ketika Inggris menjajah Constantinofel, tersebutlah seorang milisi Constantinofel yang gagah berani melawan tentara Inggris yang dikenal kuat dan kejam. Sebagai negara jajahan, setiap hari kehidupan warga Constantinofel ini dihantui pembunuhan, perkosaan, perampasan, pembakaran dan/atau penyiksaan.
Karena kebiadaban tersebut, rakyat Constantinofel inipun terpaksa memilih hidup di barak-barak pengungsian.
Meski tentara Inggris terus menebar teror penderitaan, tapi teror tersebut ternyata tak mampu membunuh nyali sang milisi. Malah ia semakin berani melancarkan serangan balik secara gerillia, yang membuat tentara Inggris panik hingga membakar rumah sang milisi dan membunuh isteri sang milisi.
Di tengah keperihan ini, sang milisi pun terus aktif merekrut milisi – milisi baru, hingga suatu ketika dia masuk ke satu gereja yang sedang melaksanakan ibadah penyembahan Tuhan.
Dengan pakaian lusuh dan memanggul senapan laras panjang, sang milisi melangkah terus ke depan altar persis berhadapan dengan sang Pendeta yang sedang berkotbah di atas altar, hingga membuat riuh suasana jemaat.
“Maafkan saya bapak Pendet,” sang milisi menyela kotbah pendeta. Bapak Pendeta yang disela, dengan bijak menjawab sang milisi. “Milisi, ini rumah Tuhan dan bukan barak milisi,” ujarnya. “Beri saya kesempatan untuk menghentikan teror kematian dari setiap orang yang ada di rumah Tuhan ini”. Bapak Pendeta tertunduk, dan sang milisi menganggap itu sebagai persetujuan.
“Saudaraku, Tuhan memanggil kita untuk membebaskan negeri ini dari penjajahan, siksaan dan pembunuhan. Tuhan memanggil kita untuk memanggul senjata demi kebebasan dan kemerdekaan kita. Siapakah diantara saudaraku yang terpanggil ikut milisi?”
Seketika suasana hening, orang- orang saling menunggu, hingga tiba- tiba seorang anak gadis berdiri mengangkat tangan. “Demi kebebasan, kemerdekaan dan harga diri, saya ikut milisi. Lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup sebagai pengecut,” ujarnya lantang.
Entah karena merasa malu terhadap perempuan, akhirnya beberapa laki- laki pun ramai – ramai angkat tangan.
“Bapak Pendeta ikut?” tanya sang milisi sambil melirik ke arah Pendeta. Pendeta menjawab, “Tugas pendeta menjaga rumah Tuhan, tugas milisi menjaga rumah anak- anak Tuhan”.
Setelah sang milisi menjanjikan waktu dan tempat pertemuan para milisi, iapun bergegas meninggalkan gereja.
Di tempat yang ditentukan, sang milisi tampak menyambut satu per satu para milisi yang baru direkrut, namun tiba- tiba matanya tertuju pada sosok seseorang yang datang menghampiri dengan memakai topi yang hampir menutup wajahnya. Sang milisi kaget, “Bapak Pendeta ikut juga?” ujarnya terkesan. Bapak Pendeta menjawab, “Pendeta harus melindungi domba-domba agar tidak dimangsa serigala,” sebut Pendeta.
Cerita inipun berakhir dengan pecahnya perang besar antara ribuan milisi bersenjatakan laras panjang, panah, pedang, tombak melawan tentara Inggris bersenjatakan pistol, senapan serbu, bom dan lain- lain yang merenggut ribuan nyawa, namun karena milisi Constantinofel kemudian mendapat dukungan dari puluhan kelompok milisi bersenjata lainnya, negeri inipun akhirnya menaklukkan tentara Inggris hingga memaksa Kerajaan Inggris mengakui kemerdekaan Constantinofel. (Red)