PADANGSIDEMPUAN, (HarianSumut)
Cucu dari almarhum Opseichter Pachruddin Harahap atau putri dari almarhum Purnawirawan AL Serma Samuel Harahap, F. E. K. Harahap, menegaskan bahwa tanah pertapakan dan bangunan yang kini menjadi Kantor Eks Polres Kota Padangsidimpuan merupakan tanah adat milik keluarga besar Harahap, bukan milik negara maupun pemerintah.
Sejarah Kepemilikan Tanah dan Bangunan
Menurut keterangan F. E. K. Harahap kepada awak media, lokasi tersebut dulunya dikenal sebagai Gudang Kopi yang dibangun oleh keluarga besar Opseichter Pachruddin Harahap pada masa pemerintahan Belanda. Pembangunan gudang kopi itu merupakan hasil kerja sama bisnis keluarga Harahap dengan pemerintah kolonial Belanda.
Tak lama kemudian, di sebelahnya didirikan pula Kantor Asisten Demang, karena ayah dari Opseichter Pachruddin Harahap, yaitu Sutan Diapari Harahap, saat itu menjabat sebagai Asisten Demang dan kemudian menjadi Demang.
Beberapa tahun setelah masa kemerdekaan, bangunan tersebut digunakan sebagai Sekolah Menengah Kesejahteraan dan Kekeluargaan (SMKK atau SKKP) atas izin keluarga besar Harahap. Sebelumnya, gedung itu dipakai oleh istri almarhum Opseichter Pachruddin Harahap (nenek dari F. E. K. Harahap) untuk mengajar para ibu rumah tangga dan istri pejuang kemerdekaan keterampilan menjahit, menyulam, memasak, dan membuat kerajinan tangan sebagai bekal ekonomi keluarga.
“Dari kegiatan itulah kemudian berkembang menjadi sekolah bagi ibu-ibu dan gadis muda di Padangsidimpuan. Sekolah itu akhirnya dikenal sebagai SKKP atau SMKK, yang kemudian berstatus negeri. Tapi sejak awal, tanah dan bangunan tersebut tidak pernah menjadi milik negara,” jelas F. E. K. Harahap, Sabtu (31/10/2025).
Pemakaian oleh Pemerintah dan Polres
Setelah Kota Padangsidimpuan dimekarkan dari Kabupaten Tapanuli Selatan, gedung eks SKKP tersebut sempat digunakan oleh Dinas Pendidikan Kota Padangsidimpuan pada tahun 2003.
Menurut F. E. K. Harahap, saat itu Wakil Wali Kota Padangsidimpuan Mara Gunung Harahap, SE datang langsung ke rumah keluarga untuk meminta izin menggunakan bangunan eks gudang kopi dan sekolah SKKP secara sementara, sambil menunggu kantor dinas pendidikan yang baru selesai dibangun di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara. Setelah beberapa tahun, kantor dinas tersebut pindah ke wilayah Pijorkoling, dan gedung eks SKKP kembali dikembalikan kepada keluarga Harahap.
Namun pada tahun 2006, AKBP Drs. Jhonny Edison, Kapolres Kota Padangsidimpuan pertama, menempati gedung tersebut tanpa seizin keluarga. Meski sempat ditegur secara lisan, beberapa pejabat Polres kemudian datang meminta izin secara kekeluargaan agar tidak mempermalukan institusi Polres di mata Polda Sumut dan Mabes Polri.
“Keluarga kami saat itu menerima dengan syarat bahwa gedung tidak boleh dibongkar, tidak boleh ditambah bangunan baru tanpa izin, dan tidak boleh dijadikan sertifikat hak milik karena tidak pernah dihibahkan atau dijual,” tegas F. E. K. Harahap.
Dugaan Penyimpangan dalam Penerbitan Sertifikat
Belakangan, F. E. K. Harahap mengungkap adanya dugaan penyimpangan prosedur dalam penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah dan bangunan eks Polres Kota Padangsidimpuan oleh ATR/BPN Kota Padangsidimpuan.
Ia mempertanyakan legalitas dokumen yang dijadikan dasar penerbitan sertifikat tersebut.
“Apakah pihak BPN sudah memiliki dokumen lengkap seperti surat girik, akta jual beli, atau surat hibah dari keluarga pemilik tanah? Jika tidak ada, maka ini jelas menyalahi ketentuan hukum agraria,” ujarnya.
F. E. K. Harahap meminta pihak ATR/BPN Kota Padangsidimpuan memberikan jawaban resmi dan transparan, sesuai dengan Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, yang mengatur tentang asal-usul hak atas tanah.
“Jangan ngawur. Harus jelas asal-usul hak atas tanah tersebut,” tegasnya.
Tanggapan Praktisi Hukum
Menanggapi polemik tersebut, seorang praktisi hukum dan pengamat sosial berinisial O. H., SH, menilai bahwa kasus ini menggambarkan ketimpangan penerapan hukum antara masyarakat dengan lembaga negara.
“Hukum tidak boleh tumpul ke atas tajam ke bawah. Jika masyarakat harus melampirkan surat girik dan bukti hak milik untuk membuat sertifikat, maka instansi pemerintah pun wajib tunduk pada aturan yang sama,” ujarnya.
Seorang warga lainnya yang enggan disebutkan namanya juga menyoroti dugaan perlakuan istimewa terhadap institusi negara dalam pengurusan sertifikat tanah.
“Kalau Polres dan instansi pemerintah bisa dapat sertifikat tanpa surat girik atau jual beli, maka rakyat juga harus diberi hak yang sama. Kalau tidak, ini bisa dikatakan kolaborasi jahat antara pihak-pihak tertentu,” ujarnya dengan nada kesal.
Harapan Keluarga Harahap
F. E. K. Harahap berharap persoalan ini dapat diselesaikan secara adil dan sesuai hukum yang berlaku, serta mengingatkan bahwa tanah adat dan bangunan peninggalan keluarga mereka adalah warisan sejarah perjuangan dan pendidikan masyarakat Padangsidimpuan.
“Kami hanya menuntut keadilan dan pengakuan atas hak tanah adat keluarga kami. Jangan sampai sejarah dan hak kami dihapus begitu saja,” tutupnya. (Red)





