PEMATANGSIANTAR, (HarianSumut)
Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024 diharapkan untuk mendapat hasil pemilihan yang berkualitas dibanding Pemilu-Pemilu sebelumnya.
Untuk dapat menyelenggarakan Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dibutuhkan integritas, profesionalitas dan akuntabilitas yang tinggi, terutama bagi penyelenggara Pemilu itu sendiri.
Pada hakekatnya proses Pemilu tidak terlepas dari upaya untuk mempengaruhi rakyat (pemilih) secara persuasif (tidak dipaksa), dengan melakukan berbagai retorika, sebagainya. Bahkan banyak kandidat atau politisi yang menggunakan teknik agitasi dan propaganda, meskipun cara-cara ini sangat dikecam di negara- negara demokrasi.
Dalam masa kampanye, para pemilih (konstituen) akan menjadi sasaran para kontestan untuk menawarkan visi-misi, janji-janji, program-program dan sebagainya. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan.
Menjelang hari pemungutan suara diberikan masa jeda atau masa tenang, barulah kemudian dilanjutkan dengan proses pemungutan (pencoblosan) dan penghitungan suara.
Hal yang paling ditabukan dalam Pelaksanaan Pilkada adalah Politik Uang, dimana proses transaksi suara rakyat dalam proses politik elektoral (pemenangan pemilihan umum dan/atau Pemilihan kepala daerah) menggunakan uang sebagai instrumen transaksinya.
Dengan kata lain, ini adalah praktik penggunaan kekuatan finansial untuk membeli suara rakyat guna memenangkan proses pertarungan politik. Penyampaian maupun pembagian uang kepada calon pemilih ini lebih dikenal dengan sebutan “serangan fajar”.
Walau banyak yang diposting di sosial media bahkan tidak sedikit yang diberitakan melalui media massa, baik cetak, elektronik maupun online, namun serangan fajar ini seolah telah mendapat legalitas dalam pelaksanaannya.
Di kalangan warga sudah tidak rahasia lagi kapan dan berapa besaran serangan fajar yang diberikan masing-masing peserta pemilu ataupun peserta Pilkada.
Anehnya, jika ada salah satu peserta pemilu maupun paslon pada pilkada yang terendus tidak akan memberikan serangan fajar, malah diklaim telah mati mesin alias pasrah dan tidak ada harapan memenangkan kontentasi tersebut.
Bahkan yang lebih miris, Selasa (26/11/2024) adanya kabar di Kota Pematangaiantar bahwa salah satu peserta mampu memberikan uang yang cukup besar kepada penyelenggara untuk mengganggu aktivitas paslon lain yang dianggap merupakan rival politiknya.
Akhirnya, sadar atau tidak sadar semua pemangku kepentingan dengan tanpa kesepakatan telah melegalkan “Serangan Fajar”. Hal tersebut terbukti dari tidak adanya pengawasan maupun tindakan terhadap pemberi maupun penerima, sebagaimana diamanatkan undang-undang. (Marnaek Saragih – Pimpinan Perusahaan PT. Media Harian Sumut)