Polemik Inisiator Kenaikan PPN 12 Persen, Ada Upaya Pengaburan?

| oleh -4x Dilihat
Screenshot

JAKARTA, (HarianSumut)

Politikus di parlemen belakangan ini ramai saling tuding terkait siapa inisiator awal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen ketimbang fokus pada tuntutan publik yang menolak kebijakan yang sudah diusulkan sejak rezim Joko Widodo tersebut.

Polemik ini bermula dari kritik PDIP yang awalnya menyatakan penolakan terhadap kenaikan PPN 12 persen.

Kritik PDIP ini kemudian ditanggapi ramai-ramai oleh politikus yang tergabung di Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus. Anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra Wihadi Wiyanto. Wihadi meminta kenaikan PPN 12 persen tak digiring sebagai inisiasi Presiden Prabowo Subianto.

Dia mengingatkan kebijakan itu merupakan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021.

Protes ke PDIP juga datang dari Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi Partai NasDem Fauzi Amro yang menganggap sikap PDIP yang menolak kenaikan tersebut sebagai bentuk pengkhianatan. PDIP dinilai hanya lempar batu sembunyi tangan dan hanya hendak mempolitisasi isu kenaikan PPN untuk meraih simpati publik.

Sementara, Wakil Ketua Umum PKB, Faisol Riza mempersilakan PDIP untuk menggugat UU HPP di Mahkamah Konstitusi (MK) jika berbalik badan menolak penerapan kenaikan PPN 12 persen.

Tak mau kalah, Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Golkar, Muhammad Misbakhun mengingatkan PDIP agar tak melakukan langkah politik cuci tangan terhadap kenaikan PPN 12 persen.

Merespons ‘serangan’ koalisi Prabowo, PDIP mengunggah surat presiden (Surpres) Jokowi yang mengusulkan kepada DPR untuk membahas revisi UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada 5 Mei 2021 lalu.

Surpres yang memiliki Nomor R-21/Pres/05/2021 ini diminta Jokowi untuk dibahas dalam sidang DPR guna mendapatkan persetujuan dengan prioritas utama. Jokowi kemudian menugaskan Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan HAM dalam membahas rancangan UU tersebut.

Dalam Pasal 7 Ayat (1) draf RUU Nomor 6 Tahun 1983 yang diajukan Jokowi tersebut mengatur Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 12 persen. Namun, dalam Pasal 7 Ayat (3) draf RUU Nomor 6 Tahun 1983 itu mengatur Tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.

Baca Juga:  Pelihara Stamina Prajurit, Kodim 0207/Simalungun Gelar Samapta Periodik II Tahun 2024

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyindir internal DPR kini sedang terjadi saling lempar tanggung jawab soal kenaikan PPN 12 persen.

DPR sembunyi dari kritik, alihkan isu

Ia menganggap DPR berupaya menghindar dari sasaran kritik masyarakat lantaran hampir semua fraksi menerima kebijakan kenaikan PPN 12 persen ini pada tahun 2021 lalu. Baginya, kondisi ini tidak akan menyelesaikan masalah lantaran publik sedang menuntut kebijakan PPN 12 persen tak diberlakukan.

“Hampir semua fraksi itu yang sekarang bahkan beroposisi juga menerima sebagian besar. Kecuali PKS yang menolak. Mereka berupaya mengaburkan substansi yang penting dalam isu kenaikan PPN 12 persen ini atau menghindari jadi sasaran kritik masyarakat,” kata Bhima kepada CNNIndonesia.com, Senin (23/12/2024).

Bhima menduga kritik yang meluas dari masyarakat terkait kenaikan PPN ini bisa berpengaruh pada kepuasan publik hingga elektabilitas jangka panjang parpol maupun pemerintahan saat ini.

Ia pun berharap DPR dan pemerintah sudah sepatutnya fokus kepada isu dan substansi utama soal kenaikan PPN 12 persen, bukan malah saling menyalahkan satu sama lain.

“Jadi [saling menyalahkan] ini sebenarnya pengalihan isu publik. DPR dan pemerintah tidak memiliki sense of crisis dan sense of urgency,” kata dia.

Bhima memprediksi jika kenaikan PPN sebesar 12 persen tidak segera dicabut atau ditunda, maka ekonomi Indonesia akan mengalami pelambatan. Lebih parahnya, ia memperkirakan target pembangunan pemerintah dan kesejahteraan akan meleset semua tahun 2025.

Karena itu, Bhima mengatakan publik dan pelaku usaha ini membutuhkan kejelasan dari pemerintah terkait kebijakan kenaikan PPN 12 persen. Terlebih, sampai hari ini aturan teknis soal kenaikan PPN 12 persen juga belum keluar.

“Kalau DPR tidak bisa menyelesaikan karena memang masuk masa reses ya tidak bisa merevisi undang-undang karena masuk masa reses jadi pemerintah aja, presiden langsung bikin Perpu Undang-undang HPP untuk menganulir pasal 7, sehingga PPN 12 persen bisa dibatalkan,” kata dia.

Baca Juga:  Operasi Kilat Sat Narkoba Polres Simalungun, Tersangka Ditangkap, Sabu dan Ganja Diamankan

Parpol dicengkeram pemerintah

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai narasi saling tuding antara parpol KIM dan PDIP ini terkesan ingin membangun citra pro terhadap rakyat, namun sebetulnya tidak demikian. Pasalnya, parpol-parpol ini mayoritas setuju dengan kenaikan PPN sejak 2021 lalu.

Alhasil, Lucius mengatakan jalan pintas untuk menyelamatkan wajah parpol di parlemen menyikapi polemik kenaikan PPN ini dengan ‘menunjuk hidung’ pihak lain.

“Karena mereka semuanya terlibat gitu ya. Padahal mereka sekarang harus kemudian menunjukkan ke publik gitu kan, mereka pro publik gitu ya. Tapi itu sulit, karena faktanya pemerintah sudah akan menaikkan itu,” kata Lucius.

Lucius mengatakan konfigurasi parpol-parpol di parlemen kini sudah tak berdaya lantaran sudah di cengkeram pemerintah. Sebab, mayoritas parpol di parlemen telah bergabung ke pemerintahan Prabowo-Gibran, kecuali PDIP.

Imbas konfigurasi ini, lanjutnya, DPR sudah pasti diam ketika menyikapi pelbagai kebijakan pemerintah yang tak populis untuk rakyat kebanyakan.

“Mereka tahu suara publik ini benar. Mereka tahu mereka harusnya mewakili suara publik. Tapi mereka enggak berdaya juga,” kata dia.

“Pilihan mereka secara politik di DPR, mereka harus mengikuti apa yang diinginkan oleh pemerintah. Saya kira itu yang membuat DPR ini jadi diam,” tambahnya.

Lucius mengatakan DPR sudah sepatutnya menjadi lembaga yang menampung aspirasi publik. Sehingga, pelbagai keberatan dan penolakan dari masyarakat terkait kenaikan PPN bisa diakomodir.

Namun, ia melihat DPR kini tidak menunjukkan gelagat dan keinginan untuk duduk bersama dan mencari jalan keluar terhadap persoalan yang diinginkan publik.

“Komisi III kemarin saja bisa menyelenggarakan RDP di tengah masa reses untuk merespons apa yang terjadi di tengah masyarakat. Kenapa kemudian misalnya pimpinan DPR tidak memanggil pimpinan fraksi yang ada di DPR, juga pimpinan banggar, pimpinan komisi XI, untuk sama-sama membicarakan agar misalnya menangguhkan kenaikan PPN 12 persen itu,” kata dia. (CNN/Red)